Masih ingat dong dengan lagu Iwan Fals yang bercerita tentang kehidupan guru. Omar Bakri tentu sudah makan asam garam menghadapi kenakalan murid, namun ditengah jaman milenial ini nasib Omar Bakri semakin tragis.
“Berkelahi pak jawab murid seperti Jagoan” mungkin potongan syair tersebut menggambarkan bagaimana perilaku murid nakal yang berlagak jagoan. Mirisnya perilaku tersebut kini semakin parah, mereka bukan lagi merasa jagoan kepada sesama murid bahkan kepada guru pendidiknya.
Faktanya, beberapa hari ini dan waktu sebelumnya kasus tidak beradab-nya murid kepada guru semakin sering terlihat. Jika sebelumnya ada guru yang tidak dihargai hingga dipaksa berlagak berkelahi guna melampiaskan emosinya tetapi tertahan karena status gurunya.
Kini kasus seperti tersebut muncul kembali, kali ini seorang guru mendapatkan perlakuan menggeramkan ketika seorang murid berlagak jagoan mengancam guru dengan memegang leher dan kepalanya, dan dilanjutkan merokok di kelas.
Peristiwa mengurut dada kembali terjadi di Sulawesi dimana murid-murid mengeroyok seorang petugas cleaning service bersama orang tua salah satu murid. Perkataan kasar ‘Anjing’ kepada korban dan guru menjadi perilaku murid SMP kelas 1 tersebut.
Lantas salah siapakah sehingga perilaku anak-anak yang baru menginjak remaja ini mampu kehilangan adab dan akhlaknya terhadap guru atau yang lebih tua? Perlukah seorang guru menerapkan kembali pendidikan yang keras seperti dekade 70-80 dimana sabetan penggaris, lemparan kapur bahkan penghapus menjadi hal yang wajar.
Mencermati kenakalan murid yang sudah diluar toleransi masyarakat yang menjujung tinggi budi pekerti dan keluhuran nilai sopan santun, menjadikan fenomena Omar Bakri mengalami nasib yang tragis – Tegas di pidanakan, lembut dilecehkan.
Pelecehan murid pada seorang guru tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi para orangtua, guru, dan murid itu sendiri, sebagai unsur yang berinteraksi dalam suatu sistem pendidikan. Tiga elemen inilah yang seharusnya saling berintegrasi guna mencetak anak-anak yang berkualitas.

Kekerasan pada guru | Wartakota
Ketika banyak psikologi yang menyatakan bahwa pelecehan murid terhadap guru dapat disebabkan karena faktor keluarga bagaimana orangtua mendidik seorang anak – biasa dengan kekerasan atau tidak, hingga opini hubungan orangtua yang juga mengalami masalah hubungan.
Artinya perilaku anak yang suka menggunakan kekerasan disekolah berawal dari rumah. Hal ini tentunya ada tanggung jawab dari orangtua. Yatim piatu semu antar orang tua juga menjadi salah satu faktor, dimana orangtua Bapak dan Ibu tetap ada tetapi kehadirannya hamper tidak dirasakan sang anak.
Bisa karena kedua orangtua terlalu sibuk bekerja, orangtua bekerja diluar negeri, atau salah satu bekerja tetapi satunya sibuk dengan kehidupannya. Hal inilah yang menyebabkan anak mencoba mencari perhatian dengan melakukan perilaku yang mengundang ke dua orangtuanya.
Tak hanya itu, kecenderungan orang tua jaman sekarang lebih memanjakan anaknya, menjadi penyebab banyak orangtua yang melayangkan tuntutan hukum Karena guru menjewernya atau terjadi pemukulan, tanpa bijaksana mencari tahu penyebab perlakuan itu terjadi.
Lantas bagaimana dengan peran murid menyumbang perilaku kenakalan dan kekerasan. Hal ini tentu tak lepas dari perkembangan teknologi yang membuat arus informasi deras mengalir. Mengakses game atau permainan yang mengandung unsur kekerasan juga pemicu anak untuk meniru.
Tak hanya itu, media sosial sebagai ajang eksistensi manusia modern sekarang ini juga berperan menciptakan perilaku kekerasan tersebut. Ketika melihat aksi murid berani melawan guru dan tersebar di medsos menjadikan dirinya terkenal dan diakui eksistensinya keberaniannya oleh murid yang lain. Tentunya menjadi kebanggan tersendiri bagi si murid, karena ditakuti satu sekolahan.
Lantas bagaimana dengan pihak sekolah atau guru yang berhadapan langsung dengan murid? Ketika kita hendak menerapkan kembali sistem pendidikan yang keras seperti jaman dahulu tentu akan berdampak lebih hebat ditengah smartphone mampu merekam dan menyebarkan peristiwa secara cepat.
Alih-alih ingin mendisiplinkan murid malah bisa terjadi sebaliknya. Guru kini pun bisa dituntut orangtua ketika anaknya menerima perlakuan kekerasan padahal banyak kasus murid sulit diatur. Bahkan banyak orangtua yang juga tidak tahu perilaku anak ketika berada disekolah.

pelecehan terhadap guru |tribunews
Sebagai intropeksi pihak sekolah tentu harus mempertimbangkan ketegasan dalam menerapkan peraturan sekolah. Ketika banyak murid melakukan pelanggaran keras, maka sanksi seharusnya diterapkan dengan mengeluarkannya. Sehingga tidak ada peristiwa guru dilecehkan oleh muridnya.
Guru juga tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Hal itu disebabkan ada juga guru yang kehilangan idealismenya. Mereka hanya disibukan mengajar sesuai dengan gaji yang didapatkan. Mereka seakan tutup mata untuk mendidik murid yang juga menjadi tanggung jawabnya.
Guru tidak lagi menjadi sosok yang dapat di gugu dan ditiru. Sentuhan seorang guru yang dapat memotivasi, mengarahkan, dan bagaimana memahami ekspresi gejolak seorang murid menjadi guru sosok yang membosankan.
Ketika kita melihat metode yang diajarkan para guru di sekolah alam, maka seorang anak menjadi tanggung jawab guru untuk membentuknya menjadi apa. Guru mengamati, mengarahkan, dan menyediakan wadah bagi seorang murid untuk mengekspresikan.
Mereka mengakomodasi apa yang diinginkan seorang murid, memberikan petunjuk, dan mampu memotivasi murid untuk mencapai tujuan hidupnya. Disana mereka belajar bukanlah demi ijasah kelulusan, tetapi lebih pada membentuk karakter diri, sehingga potensi seorang murid dapat dikembangkan secara maksimal.
Ketika murid merasa nyaman dengan kegiatan yang dilakukan, ketika murid merasa senang dengan aktivitasnya, maka secara perlahan murid akan mencintai proses belajar dan mengajar antara guru dengan dirinya.
Kurikulim sekolah yang padat dengan teori dan momok nilai ujian nasional, hal itu hanya menciptakan generasi penerus yang mengandalkan ijasah tanpa memiliki karakter dan keterampilan.