Begini Proyeksi Harga Komoditas Energi Jelang Akhir Tahun

  • Bagikan

Finroll.com –  Jelang akhir tahun, harga komoditas energi masih terus berada di dalam tekanan. Isu oversupply melanda yang juga tidak bisa diimbangi lesunya permintaan.

Founder Traderindo.com Wahyu Tribowo Laksono melihat, harga komoditas energi masih sulit bergerak naik karena dihadang oleh sejumlah sentimen. Penguatan nilai tukar dolar AS, kebijakan ketat dari suku bunga acuan The Fed, pelemahan ekonomi China hingga ancaman perlambatan ekonomi global masih jadi risiko utama bagi harga komoditas.

“Ekonomi yang lemah telah mengurangi permintaan. Akibatnya harga komoditas energi turun,” jelas Wahyu kepada Kontan.co.id, Rabu (6/12).

Wahyu menyoroti harga minyak beberapa waktu lalu sempat melonjak ke atas level US$90 per barel, menyusul adanya pemangkasan produksi oleh OPEC+ terutama Arab Saudi yang melakukannya secara sukarela. Kenaikan harga minyak dunia ini sebenarnya bisa mengangkat harga komoditas energi lainnya seperti batubara dan gas alam.

Hanya saja, harga minyak mentah saat ini sudah kembali koreksi hingga mendekati level US$ 70 per barel. Intervensi yang dilakukan OPEC+ sekalipun belum sepenuhnya memicu pembalikan harga minyak dunia menjadi bullish.

Menurut Wahyu, pemangkasan produksi OPEC+ masih dianggap wajar dan sudah diantisipasi pasar. Isu yang lebih dominan membayangi pasar minyak mentah ialah dampak suplai AS yang berlebihan (oversupply).

Laporan US Energy Information Administration (EIA) minggu lalu, rata-rata produksi harian pada September 2023 tidak berubah dari Agustus ketika mencapai rekor tertinggi 13,24 juta barel. Hal ini terjadi meskipun inflasi biaya dan harga minyak internasional lebih rendah.

“Rekor produksi minyak mentah di Amerika Serikat memberikan pukulan baru bagi harga minyak. Di saat OPEC+ justru sedang mencoba untuk mendorong acuan (benchmark) harga lebih tinggi dengan mengadopsi pemotongan produksi yang lebih dalam,” tutur Wahyu.

Sama halnya dengan minyak mentah, Wahyu melihat persoalan bagi harga gas alam utamanya dihadapkan pada kondisi oversupply. Permintaan gas alam diproyeksikan mencapai rekor baru pada musim dingin ini, namun produksi yang lebih tinggi dan perlambatan ekonomi kemungkinan akan membebani harga gas alam AS.

Dalam Outlook Musim Dingin 2023-2024, Asosiasi Pemasok Gas Alam (NGSA) memperkirakan penyimpanan gas alam sebesar 3,7 triliun kaki kubik (tcf), lebih tinggi dibandingkan musim dingin lalu yang sebesar 3,5 tcf. Produksinya meningkat kurang dari 1%.

Sementara itu, harga batubara tengah berada dalam tren naik berkat dorongan dari data impor batubara China. Negeri Tirai Bambu sedang melakukan antisipasi pemulihan permintaan untuk menghadapi pemulihan dari lockdown pada akhir tahun lalu.

“Potensi terjadinya pemulihan semakin terlihat nyata akibat dukungan dari stimulus kebijakan pelonggaran suku bunga,” jelas Wahyu.

Wahyu menilai bahwa kebijakan suku bunga The Fed, tetap bukan faktor utama bagi pergerakan harga Batubara dalam jangka panjang. Hal itu melainkan faktor dari China sebagai konsumen utama dari komoditas emas hitam tersebut.

China merupakan pemain besar dalam pasar batubara. Wahyu mencontohkan, kebijakan intervensi bisa dilakukan seperti Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC) yang menerapkan aturan jam kerja, aturan impor ekspor, dan lain sebagainya.

Selain itu, Wahyu juga melihat kenaikan harga batubara yang didorong oleh kondisi oversold. Jadi wajar harga batubara dalam sebulan terakhir naik karena sudah anjlok dalam setahun terakhir.

Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengamati, peningkatan harga batubara disebabkan permintaan dari Tiongkok yang akan meningkat seiring dengan turunnya suhu di musim dingin. Harga Batubara berjangka Newcastle saat ini meningkat hingga di atas US$130 per ton.

Impor batubara termal Tiongkok pada bulan November 2023 diperkirakan akan mencapai sekitar 29,21 juta metrik ton. Angka tersebut akan melampaui impor batubara termal pada bulan Oktober sebesar 24,62 juta ton dan hanya tertinggal dari impor batubara termal pada bulan Mei sebesar 30,21 juta metrik ton, berdasarkan data analis komoditas di Kpler.

Dari total tersebut, Australia diperkirakan mengirimkan 7,22 juta metrik ton ke China menjadi peningkatan substansial dari 4,23 juta metrik ton pada bulan Oktober. Ini menandai total pengiriman bulanan tertinggi sejak Beijing mencabut larangan informal terhadap impor dari Australia pada awal tahun 2023.

Sementara itu, sentimen cukup berbeda bagi harga minyak dunia. Menurut Sutopo, harga minyak turun lebih dari 6% di tengah keraguan bahwa pengurangan pasokan oleh OPEC+ akan berdampak signifikan. Selain itu, melemahnya data di negara-negara besar memicu kekhawatiran akan turunnya permintaan energi.

“Saat ini investor terus menilai prospek pasokan dan permintaan global,” ujar Sutopo kepada Kontan.co.id, kemarin (5/12).

Sutopo menyebutkan, penurunan harga minyak dunia disebabkan langkah beberapa anggota OPEC+ termasuk Arab Saudi, UEA, dan Kuwait yang mengumumkan pengurangan tambahan sukarela hingga total 2,2 juta barel per hari. Sementara anggota lainnya belum mendukung kesepakatan tersebut.

Pelaku pasar masih ragu terhadap rencana pemangkasan pasokan OPEC+ yang berpotensi berlanjut hingga melewati kuartal pertama 2024. Di tempat lain, para pedagang masih khawatir atas situasi geopolitik di Timur Tengah seiring meningkatnya pertempuran di Gaza pada akhir pekan.

Sutopo turut melihat permasalahan pasokan yang menimpa harga gas alam. Laporan terbaru EIA AS mengindikasikan peningkatan sebesar 10 miliar tcf dalam penyimpanan gas untuk pekan yang berakhir 24 November. Ini bertentangan dengan ekspektasi pasar sebesar 12 miliar tcf.

Alhasil, Gas alam berjangka AS memperpanjang kerugian diperdagangkan di bawah US$ 2,7 per MMBtu karena tingkat penyimpanan yang melimpah dan berkurangnya permintaan. Selain itu, prakiraan cuaca menunjukkan bahwa suhu kemungkinan akan tetap lebih hangat dari biasanya setidaknya hingga pertengahan Desember 2023.

Wahyu Laksono memperkirakan harga gas alam kemungkinan berada di rentang US$ 2,00 Mmbtu -US$ 5,00 per Mmbtu di tahun 2024. Dalam jangka menengah, harga minyak mentah dunia diperkirakan di kisaran US$ 60 – US$ 90 per barel. Sementara, harga batubara dianggap masih relevan untuk berada di kisaran harga US$ 100- US$ 250 per ton di tahun depan. (Kontan.co.id)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *